Friday, July 3, 2015

Kontroversi Wisata Renang Berbalut Konservasi Hiu

konservasi hiu dan berenang bersama
Ilustrasi
Menikmati renang bersama hewan buas seperti ikan hiu saat cukup digemari oleh para wisatawan. Cukup banyak wisatawan yang berkunjung untuk menikmati bagaimana rasanya berenang dalam kolam yang berisikan ikan-ikan hiu yang merupakan hewan buas. Namun, aktivitas wisata tersebut menjadi perhatian serius lembaga-lembaga pelestari hewan dan lingkungan.


Seperti yang dikutip dari Kompas, pendiri ProFauna, Rosek Nursahid mengatakan, “Ini adalah eksploitasi yang mengatasnamakan konservasi. Hiu bisa stres dan ada bahaya lain bagi pengunjung”.

Menurut Rosek, kemungkinan timbulnya bahaya bagi para pengunjung cukup besar. Sebab, pada dasarnya hiu merupakan binatang liar juga sebagai predator, maka risiko hiu untuk menyerang manusia kemungkinan besar bisa terjadi.

“Dalam situasi tertentu seperti stress atau lapar, semua binatang liar atau predator akan punya insting untuk memangsa,” tambah Rosek.

Selaras dengan pernyataan Rosek, pemerhati konservasi alam dan mantan pembawa acara perjalanan Riyanni Djangkaru pun menganggap kegiatan wisata dengan berenang bersama ikan hiu tidak masuk akal. Alasan penangkaran yang berarti pengembangbiakan, menurut Riyanni, tidak cocok disandingkan dengan kegiatan wisata tersebut.

“Kalau dibilang penangkaran hiu, berarti tujuannya konservasi berarti kita lihat itu pengembangbiakannya, tapi itu orang bayar justru buat berenang,” tambah Riyanni.

Upaya komersialisasi berbalut konservasi hiu tersebut bagi Riyanni sangat tidak bersahabat dengan lingkungan, khususnya bagi kelestarian hiu. Riyanni menyebutkan kemungkinan hiu mati akan lebih tinggi karena banyak hiu yang stres akibat harus berenang di kolam kecil.

“Supaya menarik perhatian orang pasti jumlahnya ditambah, jadi jumlah di alam semakin berkurang,” jelas Riyanni.

Pentingnya Konservasi Hiu

Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia, Nyoman Iswarayoga mengatakan upaya konservasi hiu harus tetap menjaga keaslian habitat hewan tersebut. Dia pun tidak menampik adanya wisata berenang bersama hiu maupun hewan liar lainnya.

“Fungsi konservasi untuk riset dan edukasi masyarakat memang ada dan diperbolehkan, namun harus dijamin bahwa satwa yang ada di sana memang diperlakukan dengan baik,” jelas Nyoman.

Meski begitu, beberapa elemen penting tetap harus diperhatikan para pengelola konservasi hiu, seperti aspek perizinan dan perawatan selama penangkaran. Perawatan begitu penting menurut Nyoman sebab hewan-hewan tersbeut pada dasarnya merupakan hewan liar sehingga kawasan konservasinya harus dibuat menyerupai habitat aslinya.

Inilah Negara Dengan Puasa Terlama Di Dunia

Berpuasa merupakan kewajiban yang harus dijalankan bagi setiap umat muslim di belahan dunia manapun. Kewajiban berpuasa tersebut dimulai sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Letak geografis masing-masing negara berbeda-beda di setiap belahan dunia, jumlah durasi berpuasa di seluruh dunia menjadi bervariasi, tergantung pada periode waktu antara matahari terbit dan terbenam yang berbeda di masing-masing belahan dunia.

Berikut merupakan perbedaan durasi berpuasa di seluruh belahan dunia yang dilansir Al-arabiya:

Ini Negara Dengan Puasa Terlama Di Dunia

Di Eropa, berdasarkan besuah peta yang diterbitkan oleh Radio Nederland Wereldomroep, Denmark adalah negara dengan durasi puasa terpanjang di daratan Eropa sekaligus di dunia, yakni dengan rata-rata 21 jam per hari. Sementara di Jerman selama 18 jam 9 menit.

Di Amerika Selatan dan Pasifik, umat muslim akan melakukan puasa dengan durasi terpendek, yakni 12 jam 21 menit di Argentina. Sementara Australia 12,5 jam, Brasil 13 jam 9 menit dan Chili memiliki durasi puasa terpendek di dunia, yakni 11 jam 58 menit.

Sedangkan di bagian Amerika Utara durasi puasa berkisar antara 15 sampai 18 jam. Washington DC memiliki rata-rata durasi puasa selama 16 jam 44 menit. Sementara muslim di Kanada akan merasakan berpuasa rata-rata 18 jam 9 menit.

Di Timur Tengah memiliki rata-rata durasi puasa selama 11 hingga 16 jam, termasuk Arab Saudi yang berdurasi 16 jam 13 menit, Uni Emirat Arab 15 jam 23 menit dan Kuwait 15 jam 59 menit.

Sementara itu, Afrika Selatan memiliki durasi puasa terpendek ketiga di dunia, yaitu sekira 12 jam. Sedangkan negara-negara Afrika Utara seperti Mesir, Tunisia dan Aljazair memiliki durasi rata-rata 12,5 – 17,5 jam puasa.

Di Asia, Muslim di India dan Pakistan akan berpuasa selama masing-masing 17 jam 11 menit dan 16,5 jam. Sedangkan Di Tiongkok, umat Muslim di negara ini akan puasa selama 17 jam 28 menit. Sementara Indonesia durasi umat Muslim berpuasa rata-rata adalah 13 jam per hari.

Tak Putus Sensasi, Dubai Bangun Stadion Bawah Laut

Tak Putus Sensasi, Dubai Bangun Stadion Bawah Laut
Ilustrasi

Terus mendulang sensasi yang luar biasa dilakukan oleh Dubai. Bermula dari membangun gedung pencakar langit tertinggi di dunia, dunia fantasi bawah laut, gunung es indoor beserta wahananya, hingga vila apung tersedia di kota terbesar kedua Uni Emirat Arab ini.

Terobosan terbaru dari Dubai adalah proposal proyek stadion tenis bawah air (underwater stadium). Firma arsitektur yang berbasis di Polandia, Krzysztof Kotala dari 8 + 8 Concept Studio, menawarkan gagasan “gila” ini.

Menurut mereka, investasi stadion bawah laut ini akan membawa keuntungan ekonomi di sketor konstruksi. Proyek ini juga diprediksi bakal mendatangkan keuntungan sektor pariwisata.

Selain Uni Emirat Arab, Krzysztof Kotala merekomendasikan pengembangan stadion unik ini di Qatar, dan Jepang. Kedua negara ini bisa menjadi lokasi ideal karena sama-sama menjadi tuan rumah penyelenggaraan olahraga akbar dunia.

Krzysztof mengatakan kompleks tenis bawah air adalah sebuah pendekatan inovatif untuk fasilitas olahraga. Kompleks ini terdiri atas tujuh arena yang berfungsi sebagai fasilitas olahraga, rekreasi dan juga pusat pameran.

“Arena bawah air ini cocok dan ramah lingkungan karena menyerupai terumbu karang di Dubai. Teknologi modern dan bahan material hijau seperti semen nano, dan kaca karbon dapat digunakan untuk konstruksi strukturnya,” jelas Krzysztof dikutip dari laman Kompas.com

Membangun stadion luar biasa ini tentu butuh dana tak sedikit. Menurut perhitungan Krzysztof, kisaran biayanya bisa mencapai miliaran dollar AS, dengan tenor pembangunan lima tahun.

Rekor Baru Gedung Tertinggi Di Dunia “Tanpa Antena”

Rekor Baru Gedung Tertinggi Di Dunia “Tanpa Antena”
Ilustrasi

Dubai Multi Commodities Centre (DMCC) meminta Adrian Smith + Gordon Gill Architecture (AS + GG) menjadi arsitek untuk Burj 2020, yaitu menara komersial atau gedung tertinggi di dunia. Konsultan WATG, ditunjuk untuk menyampaikan rencana induk Distrik Burj 2020.
“AS + GG dan WATG memiliki pengalaman secara global dan keahlian desain menara. Mereka akan merancang destinasi kelas dunia dan akan menetapkan gedung bertingkat baru yang efisien dan keberlanjutan perkotaan,” ujar Ketua Eksekutif, DMCC, Ahmed bin Sulayem dikutip dari laman Kompas.com
Sementara itu, DMCC sendiri menyangkal opini bahwa mereka sengaja menempatkan spire atau ujung runcing dan biasa disebut “antena” untuk menjadikan menara ini sebagai perkantoran tertinggi di dunia. Seperti diketahui, beberapa menara tertinggi di dunia menggunakan spire. Sebut saja, Burj Khalifa, Taipei 101, Petronas, dan Empire State Building.
“Kami tidak akan menempatkan spire supaya menara ini masuk ke buku rekor dunia. Namun, jelas ini akan menjadi struktur yang sangat tinggi. Semuanya dengan lantai,” kata Sulayem.
Sulayem sebelumnya menyatakan, mereka berencana untuk membangun menara yang efisien untuk diakses dari dalam dan keluar, juga sebaliknya. Burj 2020 akan dibangun menggunakan baja. Menurut dia, setiap menara lebih dari 80 lantai tidak bisa menggunakan semen. Menara ini nantinya sepenuhnya berstruktur baja.
Rencananya, Burj 2020 akan dibangun di sebidang tanah yang terletak di sisi selatan Jumeirah Lakes Towers, dekat dengan Jumeirah Island dan Jumeirah Park.
Menara ini adalah pusat dari DMCC Business Park, yang terdiri dari 12.000 meter persegi ruang ritel, ruang komersial bertingkat rendah, fasilitas olahraga, area taman besar dan bertingkat parkir mobil.
DMCC mengatakan bahwa pembangunan dimulai pada 2015 dan dijadwalkan selesai sebelum 2020. Bertepatan dengan waktu Dubai menggelar Expo 2020.
Terintegrasi dengan perkembangan Jumeirah Lakes Towers, District Burj 2020 akan menjadi menara multifungsi pertama seluas 107.000 meter persegi yang menyediakan ruang komersial, ritel dan hotel.

Buka disini

Thursday, July 2, 2015

SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT DALAM WTO

S&DT adalah ketentuan-ketentuan perlakuan khusus yang diberikan kepada negara berkembang dalam berbagai elemen perjanjian WTO yang bertujuan untuk meningkatkan peran serta negara berkembang dalam perdagangan global dan mendorong pembangunan. Perkembangan mengenai isu S&DT ini perlu dicermati Indonesia sebagai negara berkembang yang dapat memperoleh hak-hak istimewa tersebut guna mengamankan kepentingan nasional. Dalam pembukaan Agreement on  Establishing the WTO hasil perundingan Putaran Uruguay disebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan WTO.
Dijelaskan pula bahwa perdagangan internasional juga harus memberikan manfaat kepada pembangunan ekonomi negara berkembang dan Least Developed Countries (LDCs). Sebagai bagian dari komitmen, seluruh perjanjian-perjanjian WTO mengandung beberapa ketentuan yang memberikan suatu hak khusus kepada negara berkembang serta mewajibkan negara maju untuk memperlakukan negara berkembang secara lebih ringan dibandingkan negara anggota WTO lainnya.
Perlakuan khusus yang diberikan kepada negara berkembang ini dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment (S&DT). Prinsip S&DT ini dilatar belakangi oleh kondisi negara berkembang yang masih rentan baik dalam situasi perekonomian maupun sosialnya sehingga seringkali tidak dapat mengambil manfaat penuh atas perkembangan perdagangan global yang pesat, bahkan terkena dampak negatif atas persaingan pasar yang semakin tinggi. Oleh karenanya, prinsip S&DT diterapkan agar peraturan perdagangan internasional dapat mengadaptasi situasi ekonomi, memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan negara-negara berkembang dan LDCs agar dapat berpartisipasi secara lebih aktif dalam perdagangan global.
Terdapat dua bentuk utama S&DT: Pertama, terkait komitmen akses pasar, S&DT memberikan non-reciprocal trade preferences yang memberikan preferensi akses pasar kepada negara berkembang. Negara berkembang diberikan kewajiban yang lebih ringan dan berbeda dalam membuka akses pasarnya dengan periode implementasi yang lebih lama. Kedua, terkait aturan dan disiplin perdagangan, berarti negara berkembang dapat dikecualikan atau diberikan kewajiban yang lebih ringan atas penerapan suatu aturan perdagangan multilateral.
Namun di samping kedua hal tersebut, pemberian bantuan teknis dan finansial kepada negara berkembang juga merupakan bentuk S&DT yang difasilitasi dalam WTO. Beberapa ketentuan yang termasuk dalam S&DT untuk negara berkembang adalah:
1.      Periode implementasi perjanjian dan komitmen yang lebih lama;
2.      Ketentuan-ketentuan atau instrumen untuk meningkatkan kesempatan perdagangan untuk negara berkembang;
3.      Ketentuan untuk seluruh anggota WTO untuk melindungi kepentingan perdagangan negara berkembang;
4.      Bantuan teknis untuk membangun infrastruktur terkait implementasi peraturan WTO, menghadapi sengketa, dan menerapkan standar teknis; dan
5.      Ketentuan yang terkait anggota Least Developed Country (LDC).
S&DT dalam Agreement on Agriculture WTO Ketentuan S&DT ini terdapat di hampir seluruh perjanjian WTO termasuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) yaitu perjanjian WTO untuk produk pertanian. Pertanian merupakan sektor utama bagi negara berkembang dimana pembangunan sangat bergantung pada sektor ini. Dengan demikian, S&DT dalam sektor pertanian dipandang sangat penting dan sensitif bagi negara berkembang. AoA yang saat ini berlaku memberikan sejumlah ketentuan S&DT kepada negara berkembang melalui berbagai cara. Misalnya mempunyai persentase pengurangan tarif, subsidi domestik (domestic support), dan subsidi ekspor yang lebih rendah dengan periode implementasi yang lebih lama. Fleksibilitas yang lebih besar juga diberikan untuk memperbolehkan negara berkembang menggunakan intrumen kebijakan tertentu seperti subsidi investasi, subsidi dengan tujuan dasar pembangunan, dan subsidi ekspor.
Di samping itu, terdapat ketentuan khusus untuk negara berkembang yang net food importing dan LDCs sebagaimana diatur dalam Decision on Measures Concerning the Possible Negative Effects of the Reform Programme on Least Developed and Net Food Importing Developing Countries. Berbagai ketentuan S&DT dalam Agreement on Agriculture diantaranya adalah:
1.      Ketentuan yang memperbolehkan fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menggunakan instrumen kebijakan ekonomi dan perdagangannya:
a.       Subsidi investasi yang secara umum diberikan pada sektor pertanian serta subsidi input pertanian yang secara umum diberikan kepada produsen berpenghasilan rendah atau resourced poor guna mendorong pembangunan dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi domestik (domestic support);
b.      Persentase de minimis[1] dari Aggregate Measurement of Support (AMS)[2] dalam subsidi domestik yang tidak memerlukan pengurangan adalah 10% bila dibandingkan 5% untuk anggota negara maju;
c.       Ketentuan untuk mengurangi budgetary outlays untuk subsidi ekspor dan jumlah yang diuntungkan dari subsidi tersebut adalah 24% dan 14% masing-masing, bila dibandingkan dengan ketentuan untuk negara maju yang harus mengurangi masing-masing 36% dan 21%.
d.      Selama periode implementasi, tidak ada komitmen pengurangan yang harus dilakukan terkait subsidi pemasaran dan pengiriman barang serta subsidi transport internal untuk pengiriman ekspor.
e.       Ketentuan penjualan foodstuff dengan harga subsidi dengan tujuan memenuhi kebutuhan makanan rakyat miskin di negara berkembang tidak dianggap sebagai domestic support yang menjadi subjek pengurangan komitmen.
2.      Ketentuan yang memperbolehkan periode transisi yang lebih lama untuk negara berkembang:
AoA memberikan negara berkembang fleksibilitas untuk mengimplementasikan komitmen pengurangan selama periode 10 tahun, sementara untuk negara maju 6 tahun. Negara LDCs tidak diwajibkan melakukan komitmen pengurangan.

PERKEMBANGAN
Banyak negara berkembang yang berpandangan bahwa fleksibilitas yang ada dalam  AoA kurang memadai untuk mendukung program pembangunan. Bahkan dalam implementasinya, terdapat beberapa kebebasan yang dulu dimiliki negara berkembang kini dibatasi oleh komitmen yang ada. Negara berkembang berpandangan bahwa mereka harus tetap diberikan wewenang untuk memproteksi dan membantu produksi pangan domestik demi kepentingan ketahanan pangan (food security), jaminan penghidupan (livelihood security), dan pembangunan pedesaan (rural development); serta melindungi produsen dan konsumen dari harga dunia yang berfluktuasi, dan ancaman lonjakan impor.
Di samping itu, negara berkembang juga banyak yang menganggap adanya ketidakseimbangan dalam perjanjian yang sekarang dimana disiplin yang diterapkan untuk negara berkembang dirasa lebih ketat daripada yang diterapkan untuk negara maju. Sebagai contoh, dalam pelaksanaannya, negara maju dapat memberikan subsidi yang mendistorsi pasar lebih besar dari tingkat de minimis, sementara negara berkembang justru terbatasi oleh adanya tingkat de minimis tersebut. Negara berkembang juga memiliki kesulitan menerapkan Special Safeguard (SSG) karena prosedurnya yang sulit dilakukan oleh negara berkembang sementara memungkinkan dilakukan negara maju.
Ketidakseimbangan yang dirasakan negara berkembang, inilah yang menuntut agar perundingan WTO Putaran Doha membawa perubahan ke arah yang lebih baik yang dapat memfasilitasi pembangunan negara berkembang sesuai tujuan dari WTO. Dalam perundingan WTO Putaran Doha, para anggota WTO menyepakati bahwa S&DT harus tetap menjadi bagian integral dari seluruh elemen negosiasi pertanian sebagaimana tertuang dalam Doha Declaration hasil Pertemuan Tingkat Menteri WTO ke-4 di Doha.
Dalam Deklarasi Doha tersebut juga telah dimandatkan bahwa Committee on Trade and Development (CTD) akan melakuan evaluasi secara khusus mengenai ketentuan-ketentuan S&DT secara keseluruhan. Secara lebih khusus, pembahasan mengenai S&DT terkait Putaran Doha dilakukan dalam format Special Session[3]. Dalam perkembangan perundingan Putaran Doha bidang pertanian, S&DT menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembahasan masing-masing pilar akses pasar, domestic support, dan export competition.
Hal ini dimaksudkan agar reformasi peraturan perdagangan internasional bidang pertanian menghasilkan kebijakan yang tidak mendorong kelanjutan dari distorsi perdagangan khususnya yang dilakukan negara maju serta untuk mendorong kebijakan yang fleksibel guna mendorong pertumbuhan dan pembangunan negara berkembang. Fleksibilitas yang lebih tinggi dalam penggunaan kebijakan yang bertujuan untuk mendorong sektor pertanian secara menyeluruh bagi negara berkembang dirasa sangat penting mengingat bahwa sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam transformasi ekonomi negara berkembang.
Dengan adanya fleksibilitas tersebut, negara berkembang dapat mengambil manfaat ekonomi dan sosial dari perdagangan global yang diperlukan dalam pembangunan pertanian dan negaranya. Dengan demikian, keberhasilan Putaran Doha sangat bergantung pada bagaimana outcome kesepakatan S&DT untuk negara berkembang yang tertuang dalam setiap elemen modalitas. Berikut adalah beberapa elemen modalitas S&DT untuk negara berkembang yang sedang dinegosiasikan dalam Perundingan WTO Putaran Doha bidang pertanian berdasarkan masing-masing pilar.
1.      Market Access
a.       Pengurangan tarif yang lebih kecil dengan implementasi periode yang lebih lama. Pengurangan bound tariff yang signifikan memiliki risiko untuk negara berkembang sebab negara berkembang relatif lebih rentan dalam sektor pertanian serta memiliki keterbatasan kemampuan finansial untuk menggunakan safeguard atau instrumen kebijakan lainnya untuk menanggulangi efek external shock apabila tarif diturunkan.
Sebagian besar negara berkembang banyak yang bergantung pada kebijakan di perbatasan seperti tarif untuk menjaga food security dan rural development, sehingga dengan adanya S&DT tersebut diharapkan masih ada jarak yang memadai antara bound tariff dengan applied tariff untuk negara berkembang. Modalitas yang kini tertuang adalah negara maju diwajibkan melakukan rata-rata pemotongan tarif minimum 54% selama 5 tahun, sementara negara berkembang diwajibkan melakukan rata-rata pemotongan tarif maksimum 36% selama 10 tahun.
b.      Fleksibilitas untuk memilih sejumlah produk sebagai Special Products (SP) yang penting bagi food security, livelihood security, dan rural development. Negara berkembang diberikan hak untuk memilih sejumlah produk pertanian yang dianggap penting bagi mereka sebagai Special Products. Pemilihan produk-produk tersebut akan berdasarkan kriteria-kriteria yang berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Perlakuan bagi SP adalah pengurangan tarif yang lebih ringan, bahkan untuk beberapa produk SP, negara berkembang dapat menerapkan zero cut yaitu tidak ada pemotongan tarif.
c.       Pemberlakuan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang. Peraturan safeguard yang saat ini berlaku sangat sulit atau tidak dapat diterapkan oleh negara berkembang, baik dari segi waktu, teknis, maupun biayanya. Saat ini sedang diusulkan suatu mekanisme safeguard baru yang lebih mudah diterapkan negara berkembang yang disebut Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM dapat diterapkan untuk produk pertanian negara berkembang yang mengalami kerugian atas lonjakan impor atau terdepresinya harga.
d.      Perlunya memperhatikan preference erosion. Preferences secara umum memiliki dampak positif bagi pembangunan negara yang menerimanya. Dalam perundingan Doha, kemungkinan terhapusnya/tererosinya preference akibat pemotongan tarif yang menyeluruh perlu diperhatikan dan diatur pelaksanaannya sehingga dapat meminimalisir kerugian negara berkembang yang semula memiliki preferensi tersebut. Salah satu isu yang dibahas dalam agenda ini adalah pemberian bantuan teknis, termasuk tambahan bantuan dana dan capacity building untuk menghadapi penyesuaian tersebut.
2.      Domestic Support (Subsidi Domestik)
a.       Pengurangan yang lebih kecil subsidi yang mendistorsi pasar dengan periode implementasi yang lebih lama. Negara berkembang hanya diwajibkan mengurangi subsidi yang mendistorsi pasar yaitu Overall Trade distorting Domestic Support (OTDS)[4] sebesar 2/3 dari kewajiban negara maju dengan periode implementasi 5 tahun untuk negara maju dan 8 tahun untuk negara berkembang.
b.      Tetap berlakunya Artikel 6.2 Agreement on Agriculture (AoA) untuk negara berkembang. Artikel 6.2 AoA menyebutkan bahwa subsidi investasi dan subsidi input yang diberikan kepada low-income atau resource-poor producers di negara berkembang dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi.
c.       De minimis support untuk negara berkembang adalah 20% dari Value of Production (VoP), sementara negara maju adalah 10%. Dalam perundingan ini juga diperjuangkan agar de minimis untuk negara berkembang tidak berada di bawah angka 20% yang saat ini berlaku.
3.      Export Competition
a.       Dalam Deklarasi Doha serta Hong Kong Ministerial Declaration, telah disepakati bahwa segala bentuk subsidi ekspor harus dihapuskan. Subsidi ekspor tersebut harus dihapuskan pada tahun 2013 untuk negara maju, sementara negara berkembang diberikan waktu yang berbeda yaitu pada tahun 2016.
b.      Pengecualian yang diberikan kepada negara berkembang dalam Artikel 9.4 Agreement on Agriculture tetap dipertahankan. Artikel 9.4 Agreement on Agriculture menyebutkan bahwa negara berkembang tidak dikenakan kewajiban pengurangan untuk beberapa bentuk subsidi ekspor yang terkait subsidi pemasaran (marketing), pengiriman/transportasi internasional barang, dan subsidi transport internal untuk pengiriman ekspor.
c.       Perlakuan khusus untuk State Trading Enterprises (STEs) di negara berkembang di mana STE negara berkembang yang memiliki kegiatan menjaga stabilitas harga dan menjamin food security diperbolehkan menggunakan monopoli ekspor, sementara negara maju harus menghapuskan monopoli tersebut pada tahun 2013. Hal ini dimaksudkan agar STE dapat berkontribusi terhadap transformasi pertaniannya.
d.      Pemberian perlakuan yang berbeda untuk negara berkembang dalam disiplin export credit seperti penerapan yang lebih ringan dalam hal pengurangan maximum repayment terms.
Pembahasan mengenai S&DT dalam perundingan bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun dalam perundingan S&DT sudah tertuang dalam berbagai elemen modalitas, S&DT mendapatkan banyak tantangan dan perdebatan dari negara anggota lainnya terutama negara maju. Pertama, S&DT berlaku untuk seluruh negara berkembang yang sifatnya heterogen di mana kemampuan ekonomi serta daya saingnya bisa berbeda-beda. Hal ini menyebabkan konsep tersebut menjadi kurang berarti dalam praktiknya.
Terlebih lagi, untuk menjadi negara berkembang hanyalah merupakan self-declaration. Sehingga perlakuan khusus ini dapat diberikan kepada negara manapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara berkembang. Sebagai contoh, Singapura dan Korea Selatan yang memiliki kemampuan ekonomi dan daya saing yang baik tetap dianggap sebagai negara berkembang dan akan menerima S&DT tersebut bersama-sama negara-negara yang sangat miskin seperti Benin dan Malawi.
Kedua, S&DT dianggap merupakan bentuk hambatan dari proses liberalisasi dan globalisasi yang juga menjadi spirit dari WTO. Ketiga, S&DT justru dapat menyebabkan negara berkembang tidak efisien dan kurang dapat mengadaptasi dengan daya saing dunia akibat preferensi-preferensi yang diterimanya. Keempat, S&DT akan menyebabkan distorsi perdagangan terutama dengan adanya kelanjutan pemberian subsidi.
Meskipun mendapatkan berbagai tantangan, negara-negara berkembang terus memperjuangkan S&DT. Perjuangan negara berkembang tersebut juga banyak dilakukan dalam bentuk koalisi-koalisi. Beberapa koalisi negara berkembang dalam bidang Pertanian yang memperjuangkan S&DT diantaranya adalah African, Caribbean and Pacific (ACP) yaitu negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik yang memiliki preferensi dari Uni Eropa; Tropical Products Group yaitu negara berkembang yang mencari akses pasar yang lebih besar untuk produk-produk tropis; G-20 yaitu kelompok negara berkembang yang menuntut perubahan yang ambisius di pertanian negara maju dengan fleksibilitas untuk negara berkembang; dan G-33 yaitu kelompok negara berkembang yang memperjuangkan Special Products (SP) dan Special safeguard Mechanism (SSM). Indonesia sendiri tergabung dalam kelompok-kelompok G-33 dan G-20.
Dalam memperjuangkan kepentingan pertanian Indonesia, Indonesia selalu berperan aktif dalam memperjuangkan S&DT. Menteri Perdagangan menyerukan bahwa “Special and Differential Treatment bukanlah tujuan akhir, namun merupakan instrumen untuk mencapai pembangunan tersebut[5]. Salah satu bentuk perjuangan Indonesia yang paling utama adalah Indonesia menjadi pelopor dan koordinator Kelompok G-33 yang bersama-sama dengan 45 negara berkembang lainnya memperjuangkan konsep Special Products (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM).
SP dan SSM dianggap instrumen yang penting bagi negara berkembang untuk menjamin food security, livelihood security, dan rural development yang diperlukan bagi pembangunan. Indonesia sebagaimana negara berkembang lainnya menghendaki agar pembangunan menjadi bagian integral dari hasil Perundingan Doha dan salah satu cara mencapai pembangunan ini adalah melalui pemberian S&DT bagi Negara berkembang. Meski kedua konsep tersebut mendapatkan banyak tantangan, namun secara prinsip konsep tersebut dapat diterima oleh negara anggota lainnya.


TINDAK LANJUT
S&DT bagi Indonesia sangat bermanfaat apabila dapat digunakan secara maksimal. S&DT bukanlah sebagai instrumen perdagangan yang dapat mendistorsi perdagangan, namun dipandang sebagai instrumen yang dapat mendukung pembangunan. S&DT harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong program-program pembangunan pemerintah seperti halnya Swasembada Pangan sehingga kondisi inilah yang akan menjadi kekuatan Indonesia pada akhirnya dalam menghadapi tantangan globalisasi yang semakin besar.
Sebagai contoh pemanfaatan S&DT yang berlaku saat ini (sesuai dengan AoA) adalah Indonesia masih diberikan fleksibilitas untuk memberikan subsidi di bawah Artikel 6.2 AoA. Hal ini mencakup subsidi input yang diberikan kepada petani-petani yang miskin sehingga dapat mendorong produktivitas dan pada akhirnya dapat mendukung program Swasembada Pangan tersebut. Mengingat saat ini sektor pertanian Indonesia masih didominasi oleh petani-petani kecil, S&DT masih diperlukan untuk menghindari efek negatif dari masuknya produk impor akibat semakin terbukanya akses pasar serta untuk mendorong kelanjutan dari program pembangunan pemerintah yang masih belum tercapai di beberapa area.
Untuk itulah, S&DT masih terus diperjuangkan dalam perundingan WTO Putaran Doha. Dalam memperjuangkan S&DT, isu SP dan SSM tetap menjadi fokus utama Indonesia bersama dengan Kelompok G-33 dalam memperjuangkan food security, livelihood security, dan rural development. Meskipun pada dasarnya kedua konsep tersebut sudah diterima negara-negara anggota, tantangan yang kini dihadapi adalah bagaimana menuangkan prosedur serta disiplin-disiplin penerapan kedua instrumen tersebut sehingga dapat efektif diterapkan negara berkembang.
Indonesia akan terus memperjuangkan kedua konsep tersebut sehingga dapat menjadi instrumen yang dapat melindungi pertanian Indonesia di tengah pesatnya perkembangan perdagangan global. Dalam perundingan, Indonesia akan selalu mengedepankan sikap aktif dan konstruktif dalam mendorong kemajuan perundingan. Indonesia baik selaku suatu negara maupun koordinator Kelompok G-33 akan terus berperan aktif dalam berbagai forum persidangan dengan memberikan masukan-masukan substantif guna memperjuangkan S&DT dan majunya perundingan.
S&DT juga harus dapat dimanfaatkan guna mengamankan kepentingan nasional baik dari sisi ofensif maupun defensif. Sisi ofensif melibatkan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor Indonesia melalui perjuangan akses pasar untuk produk-produk Indonesia, sedangkan sisi defensif melibatkan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka mengamankan produk-produk Indonesia dari hambatan perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan yang adil.
Dalam menyusun posisi serta strategi perundingan Indonesia, Indonesia selalu melakukan koordinasi antar instansi pemerintah serta dengan melibatkan pihak swasta agar semua pemangku kepentingan memiliki satu pandangan dalam menggambarkan kepentingan Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional, dibentuk Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional yang selanjutnya disebut dengan Tim Nasional PPI sebagai pihak yang berkoordinasi menyusun posisi runding Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional termasuk perundingan WTO.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 49/M-DAG/KEP/3/2006 tentang Pembentukan Kelompok Perunding Perdagangan Internasional dan Sekretariat Tim Nasional untuk Perdagangan Internasional, telah dibentuk Tim Kelompok Perunding yang berada dibawah Timnas PPI yang memiliki tugas melakukan perundingan, mengamankan dan memperjuangkan posisi dan strategi suatu perundingan perdagangan internasional berdasarkan kepenting-an pembangunan nasional.
Dalam menghadapi perkembangan perundingan, Timnas PPI akan terus melakukan koordinasi untuk membahas hasil-hasil perundingan yang telah dilaksanakan dan mengaitkannya dengan kepentingan Indonesia, menyusun posisi Indonesia sesuai subjek yang dirundingkan dengan memperhatikan kepentingan nasional, serta menyusun strategi perundingan sesuai dengan kepentingan nasional dalam menghadapi mitra runding Indonesia. Disamping itu, Indonesia juga dapat berperan aktif dalam memberikan masukan substantif atas review S&DT yang dilakukan Committee on Trade and Development (CTD).
S&DT dalam WTO tetap dipandang sebagai instrumen yang dapat membantu pembangunan negara berkembang untuk mengadaptasikan perubahan perdagangan global yang semakin pesat sehingga dapat pula meningkatkan peran serta negara berkembang dalam perdagangan global. Namun dalam pelaksana-annya, masih banyak yang mempertanyakan efektivitas pelaksanaan S&DT tersebut. Sesuai Deklarasi Doha, seluruh negara anggota sepakat bahwa ketentuan S&DT harus direview dengan maksud memperkuat pelaksanaannya dan membuatnya menjadi efektif dan operasional.
Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa Committee on Trade and Development diberi mandat untuk melakukan identifikasi terkait ketentuan S&DT. CTD juga diminta melihat cara agar negara berkembang, terutama LDCs dapat dibantu untuk menggunakan S&DT sebaik mungkin. Terkait hal ini, Indonesia dapat berperan aktif memantau pelaksanaan S&DT dan memberikan masukan-masukan khususnya bagaimana kontribusi S&DT terhadap pembangunan negara berkembang.
Saat ini Ketua CTD adalah Duta Besar RI untuk WTO, sehingga seyogyanya hal ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara berbagai reformasi perdagangan masih dirundingkan, Indonesia masih dapat menggunakan S&DT yang kini tertuang dalam Agreement on Agriculture seefektif mungkin untuk mendorong pembangunan.



 PENUTUP
Bagi negara berkembang, hasil yang memuaskan dalam isu-isu Special and Differential Treatment merupakan inti dari penilaian suksesnya negosiasi Doha dan WTO sebagai institusi yang mendukung pembangunan. Meskipun bentuk-bentuk S&DT telah lama diterapkan bahkan sejak GATT (General Agreement on Tariff and Trade), namun dalam praktiknya ketentuan-ketentuan mengenai S&DT belum dapat memfasilitasi negara berkembang secara efektif dalam menghindari efek negatif perkembangan perdagangan yang pesat dan mendukung pembangunan. Sehingga perundingan WTO Putaran Doha yang telah berlangsung sejak tahun 2001 diharapkan dapat menghasilkan instrumen-instrumen S&DT yang lebih efektif bagi negara berkembang.
Walaupun mendapatkan banyak tantangan, perjuangan tersebut terus dilakukan negara berkembang khususnya di bidang pertanian yang merupakan sektor utama negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada sektor pertanian yang selama ini selalu berperan aktif dalam memperjuangkan S&DT guna mendorong pembangunan pertanian Indonesia. Terkait dengan pembahasan diatas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah:
a.       Indonesia perlu memperjuangkan instrumen-instrumen S&DT yang dapat secara efektif diterapkan negara berkembang. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan elemen-elemen modalitas perundingan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Indonesia;
b.      Kegiatan monitoring dan review atas pelaksanaan S&DT perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga dapat terlihat bagaimana efektivitas pelaksanaan S&DT;
c.       Dalam mengantisipasi perkembangan perdagangan global yang lebih pesat di masa yang akan datang, seyogyanya Indonesia juga harus dapat membangun dan mempersiapkan diri menghadapi tingginya persaingan global serta mengantisipasi jika S&DT tersebut suatu saat akan menurun atau hilang;
d.      Dalam implementasinya, instrumen-instrumen S&DT ini sebaiknya dapat terus diperhitungkan dalam setiap kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta program dan rencana pemerintah yang bersinergi;
e.       Indonesia harus memperhatikan bagaimana S&DT ini dapat mempengaruhi perdagangan Indonesia dengan negara berkembang lainnya.

Referensi:
Agreement on Agriculture”, The Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, 1995;
FAO, “Special and differential treatment in agriculture”, Trade Policy Brief No. 10, 2006;
Matthews, A.,“Special and Differential Treatment in the WTO Agricultural Negotiations”, 2005;
Revised Draft Modalities for Agriculture, Dokumen TN/AG/W/4/Rev.4, 6 Desember 2008




[1] De Minimis adalah jumlah maksimum pemberian subsidi yang dikategorikan sebagai AMS. Jumlah ini dikecualikan dari komitmen pemotongan.
[2] AMS adalah jumlah subsidi pertanian baik products specific maupun non product specific yang wajib terkena pemotongan.
[3] Special Session adalah forum pelaksanaan negosiasi dari suatu komite tertentu, yang memiliki kegiatan di luar kegiatan reguler komite.
[4] OTDS adalah subsidi yang mendistorsi pasar dan menjadi subjek komitmen pemotongan subsidi di bawah perundingan Doha. OTDS merupakan penjumlahan dari Total AMS, 10% Value of Production, dan subsidi blue box.
[5] Pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, 26-30 Januari 2011