S&DT
adalah ketentuan-ketentuan perlakuan khusus yang diberikan kepada negara
berkembang dalam berbagai elemen perjanjian WTO yang bertujuan untuk
meningkatkan peran serta negara berkembang dalam perdagangan global dan
mendorong pembangunan. Perkembangan mengenai isu S&DT ini perlu dicermati
Indonesia sebagai negara berkembang yang dapat memperoleh hak-hak istimewa
tersebut guna mengamankan kepentingan nasional. Dalam pembukaan Agreement on
Establishing the WTO hasil perundingan Putaran Uruguay disebutkan
bahwa pembangunan ekonomi yang berkelanjutan merupakan salah satu tujuan WTO.
Dijelaskan
pula bahwa perdagangan internasional juga harus memberikan manfaat kepada
pembangunan ekonomi negara berkembang dan Least
Developed Countries (LDCs). Sebagai bagian dari komitmen, seluruh
perjanjian-perjanjian WTO mengandung beberapa ketentuan yang memberikan suatu
hak khusus kepada negara berkembang serta mewajibkan negara maju untuk
memperlakukan negara berkembang secara lebih ringan dibandingkan negara anggota
WTO lainnya.
Perlakuan
khusus yang diberikan kepada negara berkembang ini dikenal dengan istilah Special and Differential Treatment
(S&DT). Prinsip S&DT ini dilatar belakangi oleh kondisi negara
berkembang yang masih rentan baik dalam situasi perekonomian maupun sosialnya
sehingga seringkali tidak dapat mengambil manfaat penuh atas perkembangan
perdagangan global yang pesat, bahkan terkena dampak negatif atas persaingan
pasar yang semakin tinggi. Oleh karenanya, prinsip S&DT diterapkan agar
peraturan perdagangan internasional dapat mengadaptasi situasi ekonomi, memfasilitasi
kebutuhan-kebutuhan negara-negara berkembang dan LDCs agar dapat berpartisipasi
secara lebih aktif dalam perdagangan global.
Terdapat dua
bentuk utama S&DT: Pertama, terkait komitmen akses pasar, S&DT
memberikan non-reciprocal trade
preferences yang memberikan preferensi akses pasar kepada negara
berkembang. Negara berkembang diberikan kewajiban yang lebih ringan dan berbeda
dalam membuka akses pasarnya dengan periode implementasi yang lebih lama.
Kedua, terkait aturan dan disiplin perdagangan, berarti negara berkembang dapat
dikecualikan atau diberikan kewajiban yang lebih ringan atas penerapan suatu
aturan perdagangan multilateral.
Namun di samping
kedua hal tersebut, pemberian bantuan teknis dan finansial kepada negara
berkembang juga merupakan bentuk S&DT yang difasilitasi dalam WTO. Beberapa
ketentuan yang termasuk dalam S&DT untuk negara berkembang adalah:
1.
Periode implementasi perjanjian dan
komitmen yang lebih lama;
2.
Ketentuan-ketentuan atau instrumen untuk
meningkatkan kesempatan perdagangan untuk negara berkembang;
3.
Ketentuan untuk seluruh anggota WTO
untuk melindungi kepentingan perdagangan negara berkembang;
4.
Bantuan teknis untuk membangun
infrastruktur terkait implementasi peraturan WTO, menghadapi sengketa, dan
menerapkan standar teknis; dan
5.
Ketentuan yang terkait anggota Least Developed Country (LDC).
S&DT
dalam Agreement on Agriculture WTO Ketentuan
S&DT ini terdapat di hampir seluruh perjanjian WTO termasuk dalam Agreement on Agriculture (AoA) yaitu
perjanjian WTO untuk produk pertanian. Pertanian merupakan sektor utama bagi
negara berkembang dimana pembangunan sangat bergantung pada sektor ini. Dengan
demikian, S&DT dalam sektor pertanian dipandang sangat penting dan sensitif
bagi negara berkembang. AoA yang saat ini berlaku memberikan sejumlah ketentuan
S&DT kepada negara berkembang melalui berbagai cara. Misalnya mempunyai persentase
pengurangan tarif, subsidi domestik (domestic
support), dan subsidi ekspor yang lebih rendah dengan periode implementasi
yang lebih lama. Fleksibilitas yang lebih besar juga diberikan untuk
memperbolehkan negara berkembang menggunakan intrumen kebijakan tertentu
seperti subsidi investasi, subsidi dengan tujuan dasar pembangunan, dan subsidi
ekspor.
Di samping
itu, terdapat ketentuan khusus untuk negara berkembang yang net food importing
dan LDCs sebagaimana diatur dalam Decision
on Measures Concerning the Possible Negative Effects of the Reform Programme on
Least Developed and Net Food Importing Developing Countries. Berbagai
ketentuan S&DT dalam Agreement on Agriculture diantaranya adalah:
1.
Ketentuan yang memperbolehkan
fleksibilitas bagi negara berkembang untuk menggunakan instrumen kebijakan
ekonomi dan perdagangannya:
a.
Subsidi investasi yang secara umum
diberikan pada sektor pertanian serta subsidi input pertanian yang secara umum
diberikan kepada produsen berpenghasilan rendah atau resourced poor guna
mendorong pembangunan dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi domestik (domestic support);
b.
Persentase de minimis[1]
dari Aggregate Measurement of Support
(AMS)[2]
dalam subsidi domestik yang tidak memerlukan pengurangan adalah 10% bila
dibandingkan 5% untuk anggota negara maju;
c.
Ketentuan untuk mengurangi budgetary outlays untuk subsidi ekspor
dan jumlah yang diuntungkan dari subsidi tersebut adalah 24% dan 14% masing-masing,
bila dibandingkan dengan ketentuan untuk negara maju yang harus mengurangi
masing-masing 36% dan 21%.
d.
Selama periode implementasi, tidak
ada komitmen pengurangan yang harus dilakukan terkait subsidi pemasaran dan
pengiriman barang serta subsidi transport internal untuk pengiriman ekspor.
e.
Ketentuan penjualan foodstuff dengan harga subsidi dengan
tujuan memenuhi kebutuhan makanan rakyat miskin di negara berkembang tidak
dianggap sebagai domestic support
yang menjadi subjek pengurangan komitmen.
2.
Ketentuan yang memperbolehkan
periode transisi yang lebih lama untuk negara berkembang:
AoA memberikan
negara berkembang fleksibilitas untuk mengimplementasikan komitmen pengurangan
selama periode 10 tahun, sementara untuk negara maju 6 tahun. Negara LDCs tidak
diwajibkan melakukan komitmen pengurangan.
PERKEMBANGAN
Banyak
negara berkembang yang berpandangan bahwa fleksibilitas yang ada dalam AoA kurang memadai untuk mendukung program
pembangunan. Bahkan dalam implementasinya, terdapat beberapa kebebasan yang
dulu dimiliki negara berkembang kini dibatasi oleh komitmen yang ada. Negara
berkembang berpandangan bahwa mereka harus tetap diberikan wewenang untuk memproteksi
dan membantu produksi pangan domestik demi kepentingan ketahanan pangan (food security), jaminan penghidupan (livelihood security), dan pembangunan
pedesaan (rural development); serta
melindungi produsen dan konsumen dari harga dunia yang berfluktuasi, dan
ancaman lonjakan impor.
Di samping
itu, negara berkembang juga banyak yang menganggap adanya ketidakseimbangan
dalam perjanjian yang sekarang dimana disiplin yang diterapkan untuk negara
berkembang dirasa lebih ketat daripada yang diterapkan untuk negara maju.
Sebagai contoh, dalam pelaksanaannya, negara maju dapat memberikan subsidi yang
mendistorsi pasar lebih besar dari tingkat de minimis, sementara negara berkembang
justru terbatasi oleh adanya tingkat de minimis tersebut. Negara berkembang juga
memiliki kesulitan menerapkan Special Safeguard (SSG) karena prosedurnya yang
sulit dilakukan oleh negara berkembang sementara memungkinkan dilakukan negara
maju.
Ketidakseimbangan
yang dirasakan negara berkembang, inilah yang menuntut agar perundingan WTO
Putaran Doha membawa perubahan ke arah yang lebih baik yang dapat memfasilitasi
pembangunan negara berkembang sesuai tujuan dari WTO. Dalam perundingan WTO
Putaran Doha, para anggota WTO menyepakati bahwa S&DT harus tetap menjadi
bagian integral dari seluruh elemen negosiasi pertanian sebagaimana tertuang
dalam Doha Declaration hasil
Pertemuan Tingkat Menteri WTO ke-4 di Doha.
Dalam
Deklarasi Doha tersebut juga telah dimandatkan bahwa Committee on Trade and Development (CTD) akan melakuan evaluasi secara
khusus mengenai ketentuan-ketentuan S&DT secara keseluruhan. Secara lebih
khusus, pembahasan mengenai S&DT terkait Putaran Doha dilakukan dalam format
Special Session[3].
Dalam perkembangan perundingan Putaran Doha bidang pertanian, S&DT menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dalam pembahasan masing-masing pilar akses pasar,
domestic support, dan export competition.
Hal ini
dimaksudkan agar reformasi peraturan perdagangan internasional bidang pertanian
menghasilkan kebijakan yang tidak mendorong kelanjutan dari distorsi
perdagangan khususnya yang dilakukan negara maju serta untuk mendorong
kebijakan yang fleksibel guna mendorong pertumbuhan dan pembangunan negara
berkembang. Fleksibilitas yang lebih tinggi dalam penggunaan kebijakan yang
bertujuan untuk mendorong sektor pertanian secara menyeluruh bagi negara
berkembang dirasa sangat penting mengingat bahwa sektor pertanian memiliki
peranan strategis dalam transformasi ekonomi negara berkembang.
Dengan
adanya fleksibilitas tersebut, negara berkembang dapat mengambil manfaat
ekonomi dan sosial dari perdagangan global yang diperlukan dalam pembangunan
pertanian dan negaranya. Dengan demikian, keberhasilan Putaran Doha sangat
bergantung pada bagaimana outcome kesepakatan
S&DT untuk negara berkembang yang tertuang dalam setiap elemen modalitas.
Berikut adalah beberapa elemen modalitas S&DT untuk negara berkembang yang
sedang dinegosiasikan dalam Perundingan WTO Putaran Doha bidang pertanian
berdasarkan masing-masing pilar.
1. Market Access
a.
Pengurangan tarif yang lebih kecil
dengan implementasi periode yang lebih lama. Pengurangan bound tariff yang signifikan memiliki risiko untuk negara
berkembang sebab negara berkembang relatif lebih rentan dalam sektor pertanian
serta memiliki keterbatasan kemampuan finansial untuk menggunakan safeguard atau instrumen kebijakan
lainnya untuk menanggulangi efek external
shock apabila tarif diturunkan.
Sebagian besar negara berkembang
banyak yang bergantung pada kebijakan di perbatasan seperti tarif untuk menjaga
food security dan rural development, sehingga dengan
adanya S&DT tersebut diharapkan masih ada jarak yang memadai antara bound
tariff dengan applied tariff untuk
negara berkembang. Modalitas yang kini tertuang adalah negara maju diwajibkan
melakukan rata-rata pemotongan tarif minimum 54% selama 5 tahun, sementara
negara berkembang diwajibkan melakukan rata-rata pemotongan tarif maksimum 36% selama
10 tahun.
b.
Fleksibilitas untuk memilih sejumlah
produk sebagai Special Products (SP)
yang penting bagi food security, livelihood security, dan rural development. Negara berkembang
diberikan hak untuk memilih sejumlah produk pertanian yang dianggap penting
bagi mereka sebagai Special Products.
Pemilihan produk-produk tersebut akan berdasarkan kriteria-kriteria yang
berdasarkan ketiga kriteria tersebut. Perlakuan bagi SP adalah pengurangan
tarif yang lebih ringan, bahkan untuk beberapa produk SP, negara berkembang
dapat menerapkan zero cut yaitu tidak
ada pemotongan tarif.
c.
Pemberlakuan Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara berkembang.
Peraturan safeguard yang saat ini berlaku sangat sulit atau tidak dapat
diterapkan oleh negara berkembang, baik dari segi waktu, teknis, maupun
biayanya. Saat ini sedang diusulkan suatu mekanisme safeguard baru yang lebih mudah
diterapkan negara berkembang yang disebut Special Safeguard Mechanism (SSM).
SSM dapat diterapkan untuk produk pertanian negara berkembang yang mengalami
kerugian atas lonjakan impor atau terdepresinya harga.
d.
Perlunya memperhatikan preference erosion. Preferences secara umum memiliki dampak positif bagi pembangunan
negara yang menerimanya. Dalam perundingan Doha, kemungkinan
terhapusnya/tererosinya preference
akibat pemotongan tarif yang menyeluruh perlu diperhatikan dan diatur
pelaksanaannya sehingga dapat meminimalisir kerugian negara berkembang yang
semula memiliki preferensi tersebut. Salah satu isu yang dibahas dalam agenda
ini adalah pemberian bantuan teknis, termasuk tambahan bantuan dana dan capacity building untuk menghadapi
penyesuaian tersebut.
2.
Domestic
Support (Subsidi Domestik)
a.
Pengurangan yang lebih kecil subsidi
yang mendistorsi pasar dengan periode implementasi yang lebih lama. Negara
berkembang hanya diwajibkan mengurangi subsidi yang mendistorsi pasar yaitu Overall Trade distorting Domestic Support
(OTDS)[4]
sebesar 2/3 dari kewajiban negara maju dengan periode implementasi 5 tahun
untuk negara maju dan 8 tahun untuk negara berkembang.
b.
Tetap berlakunya Artikel 6.2 Agreement on Agriculture (AoA) untuk
negara berkembang. Artikel 6.2 AoA menyebutkan bahwa subsidi investasi dan
subsidi input yang diberikan kepada low-income
atau resource-poor producers di
negara berkembang dikecualikan dari komitmen pengurangan subsidi.
c.
De minimis support untuk negara
berkembang adalah 20% dari Value of
Production (VoP), sementara negara maju adalah 10%. Dalam perundingan ini
juga diperjuangkan agar de minimis untuk negara berkembang tidak berada di
bawah angka 20% yang saat ini berlaku.
3. Export Competition
a.
Dalam Deklarasi Doha serta Hong Kong Ministerial Declaration, telah
disepakati bahwa segala bentuk subsidi ekspor harus dihapuskan. Subsidi ekspor
tersebut harus dihapuskan pada tahun 2013 untuk negara maju, sementara negara
berkembang diberikan waktu yang berbeda yaitu pada tahun 2016.
b.
Pengecualian yang diberikan kepada
negara berkembang dalam Artikel 9.4 Agreement on Agriculture tetap
dipertahankan. Artikel 9.4 Agreement on Agriculture menyebutkan bahwa negara
berkembang tidak dikenakan kewajiban pengurangan untuk beberapa bentuk subsidi
ekspor yang terkait subsidi pemasaran (marketing),
pengiriman/transportasi internasional barang, dan subsidi transport internal
untuk pengiriman ekspor.
c.
Perlakuan khusus untuk State Trading Enterprises (STEs) di
negara berkembang di mana STE negara berkembang yang memiliki kegiatan menjaga
stabilitas harga dan menjamin food
security diperbolehkan menggunakan monopoli ekspor, sementara negara maju
harus menghapuskan monopoli tersebut pada tahun 2013. Hal ini dimaksudkan agar
STE dapat berkontribusi terhadap transformasi pertaniannya.
d.
Pemberian perlakuan yang berbeda
untuk negara berkembang dalam disiplin export
credit seperti penerapan yang lebih ringan dalam hal pengurangan maximum repayment terms.
Pembahasan
mengenai S&DT dalam perundingan bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun
dalam perundingan S&DT sudah tertuang dalam berbagai elemen modalitas,
S&DT mendapatkan banyak tantangan dan perdebatan dari negara anggota
lainnya terutama negara maju. Pertama,
S&DT berlaku untuk seluruh negara berkembang yang sifatnya heterogen di
mana kemampuan ekonomi serta daya saingnya bisa berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan konsep tersebut menjadi kurang berarti dalam praktiknya.
Terlebih
lagi, untuk menjadi negara berkembang hanyalah merupakan self-declaration. Sehingga perlakuan khusus ini dapat diberikan
kepada negara manapun yang mendeklarasikan dirinya sebagai negara berkembang.
Sebagai contoh, Singapura dan Korea Selatan yang memiliki kemampuan ekonomi dan
daya saing yang baik tetap dianggap sebagai negara berkembang dan akan menerima
S&DT tersebut bersama-sama negara-negara yang sangat miskin seperti Benin
dan Malawi.
Kedua, S&DT
dianggap merupakan bentuk hambatan dari proses liberalisasi dan globalisasi
yang juga menjadi spirit dari WTO. Ketiga,
S&DT justru dapat menyebabkan negara berkembang tidak efisien dan kurang
dapat mengadaptasi dengan daya saing dunia akibat preferensi-preferensi yang
diterimanya. Keempat, S&DT akan
menyebabkan distorsi perdagangan terutama dengan adanya kelanjutan pemberian
subsidi.
Meskipun
mendapatkan berbagai tantangan, negara-negara berkembang terus memperjuangkan
S&DT. Perjuangan negara berkembang tersebut juga banyak dilakukan dalam
bentuk koalisi-koalisi. Beberapa koalisi negara berkembang dalam bidang
Pertanian yang memperjuangkan S&DT diantaranya adalah African, Caribbean
and Pacific (ACP) yaitu negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik yang
memiliki preferensi dari Uni Eropa; Tropical
Products Group yaitu negara berkembang yang mencari akses pasar yang lebih
besar untuk produk-produk tropis; G-20 yaitu kelompok negara berkembang yang
menuntut perubahan yang ambisius di pertanian negara maju dengan fleksibilitas
untuk negara berkembang; dan G-33 yaitu kelompok negara berkembang yang
memperjuangkan Special Products (SP)
dan Special safeguard Mechanism
(SSM). Indonesia sendiri tergabung dalam kelompok-kelompok G-33 dan G-20.
Dalam
memperjuangkan kepentingan pertanian Indonesia, Indonesia selalu berperan aktif
dalam memperjuangkan S&DT. Menteri Perdagangan menyerukan bahwa “Special and Differential Treatment bukanlah
tujuan akhir, namun merupakan instrumen untuk mencapai pembangunan tersebut”[5].
Salah satu bentuk perjuangan Indonesia yang paling utama adalah Indonesia menjadi
pelopor dan koordinator Kelompok G-33 yang bersama-sama dengan 45 negara
berkembang lainnya memperjuangkan konsep Special
Products (SP) dan Special Safeguard
Mechanism (SSM).
SP dan SSM
dianggap instrumen yang penting bagi negara berkembang untuk menjamin food security, livelihood security, dan rural
development yang diperlukan bagi pembangunan. Indonesia sebagaimana negara
berkembang lainnya menghendaki agar pembangunan menjadi bagian integral dari
hasil Perundingan Doha dan salah satu cara mencapai pembangunan ini adalah
melalui pemberian S&DT bagi Negara berkembang. Meski kedua konsep tersebut
mendapatkan banyak tantangan, namun secara prinsip konsep tersebut dapat
diterima oleh negara anggota lainnya.
TINDAK LANJUT
S&DT
bagi Indonesia sangat bermanfaat apabila dapat digunakan secara maksimal.
S&DT bukanlah sebagai instrumen perdagangan yang dapat mendistorsi
perdagangan, namun dipandang sebagai instrumen yang dapat mendukung pembangunan.
S&DT harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong program-program
pembangunan pemerintah seperti halnya Swasembada Pangan sehingga kondisi inilah
yang akan menjadi kekuatan Indonesia pada akhirnya dalam menghadapi tantangan globalisasi
yang semakin besar.
Sebagai
contoh pemanfaatan S&DT yang berlaku saat ini (sesuai dengan AoA) adalah
Indonesia masih diberikan fleksibilitas untuk memberikan subsidi di bawah
Artikel 6.2 AoA. Hal ini mencakup subsidi input yang diberikan kepada
petani-petani yang miskin sehingga dapat mendorong produktivitas dan pada
akhirnya dapat mendukung program Swasembada Pangan tersebut. Mengingat saat ini
sektor pertanian Indonesia masih didominasi oleh petani-petani kecil, S&DT
masih diperlukan untuk menghindari efek negatif dari masuknya produk impor akibat
semakin terbukanya akses pasar serta untuk mendorong kelanjutan dari program
pembangunan pemerintah yang masih belum tercapai di beberapa area.
Untuk
itulah, S&DT masih terus diperjuangkan dalam perundingan WTO Putaran Doha. Dalam
memperjuangkan S&DT, isu SP dan SSM tetap menjadi fokus utama Indonesia
bersama dengan Kelompok G-33 dalam memperjuangkan food security, livelihood
security, dan rural development. Meskipun
pada dasarnya kedua konsep tersebut sudah diterima negara-negara anggota,
tantangan yang kini dihadapi adalah bagaimana menuangkan prosedur serta
disiplin-disiplin penerapan kedua instrumen tersebut sehingga dapat efektif
diterapkan negara berkembang.
Indonesia
akan terus memperjuangkan kedua konsep tersebut sehingga dapat menjadi
instrumen yang dapat melindungi pertanian Indonesia di tengah pesatnya
perkembangan perdagangan global. Dalam perundingan, Indonesia akan selalu
mengedepankan sikap aktif dan konstruktif dalam mendorong kemajuan perundingan.
Indonesia baik selaku suatu negara maupun koordinator Kelompok G-33 akan terus
berperan aktif dalam berbagai forum persidangan dengan memberikan
masukan-masukan substantif guna memperjuangkan S&DT dan majunya perundingan.
S&DT
juga harus dapat dimanfaatkan guna mengamankan kepentingan nasional baik dari
sisi ofensif maupun defensif. Sisi ofensif melibatkan langkah-langkah yang
dilakukan dalam rangka meningkatkan ekspor Indonesia melalui perjuangan akses
pasar untuk produk-produk Indonesia, sedangkan sisi defensif melibatkan
langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka mengamankan produk-produk Indonesia
dari hambatan perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan
yang adil.
Dalam
menyusun posisi serta strategi perundingan Indonesia, Indonesia selalu
melakukan koordinasi antar instansi pemerintah serta dengan melibatkan pihak
swasta agar semua pemangku kepentingan memiliki satu pandangan dalam
menggambarkan kepentingan Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 28
Tahun 2005 tentang Pembentukan Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional,
dibentuk Tim Nasional Perundingan Perdagangan Internasional yang selanjutnya
disebut dengan Tim Nasional PPI sebagai pihak yang berkoordinasi menyusun
posisi runding Indonesia dalam perundingan perdagangan internasional termasuk
perundingan WTO.
Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 49/M-DAG/KEP/3/2006 tentang
Pembentukan Kelompok Perunding Perdagangan Internasional dan Sekretariat Tim
Nasional untuk Perdagangan Internasional, telah dibentuk Tim Kelompok Perunding
yang berada dibawah Timnas PPI yang memiliki tugas melakukan perundingan,
mengamankan dan memperjuangkan posisi dan strategi suatu perundingan
perdagangan internasional berdasarkan kepenting-an pembangunan nasional.
Dalam
menghadapi perkembangan perundingan, Timnas PPI akan terus melakukan koordinasi
untuk membahas hasil-hasil perundingan yang telah dilaksanakan dan
mengaitkannya dengan kepentingan Indonesia, menyusun posisi Indonesia sesuai
subjek yang dirundingkan dengan memperhatikan kepentingan nasional, serta
menyusun strategi perundingan sesuai dengan kepentingan nasional dalam
menghadapi mitra runding Indonesia. Disamping itu, Indonesia juga dapat
berperan aktif dalam memberikan masukan substantif atas review S&DT yang
dilakukan Committee on Trade and
Development (CTD).
S&DT
dalam WTO tetap dipandang sebagai instrumen yang dapat membantu pembangunan
negara berkembang untuk mengadaptasikan perubahan perdagangan global yang
semakin pesat sehingga dapat pula meningkatkan peran serta negara berkembang dalam
perdagangan global. Namun dalam pelaksana-annya, masih banyak yang
mempertanyakan efektivitas pelaksanaan S&DT tersebut. Sesuai Deklarasi
Doha, seluruh negara anggota sepakat bahwa ketentuan S&DT harus direview
dengan maksud memperkuat pelaksanaannya dan membuatnya menjadi efektif dan
operasional.
Dalam
deklarasi tersebut disebutkan bahwa Committee on Trade and Development diberi
mandat untuk melakukan identifikasi terkait ketentuan S&DT. CTD juga
diminta melihat cara agar negara berkembang, terutama LDCs dapat dibantu untuk
menggunakan S&DT sebaik mungkin. Terkait hal ini, Indonesia dapat berperan
aktif memantau pelaksanaan S&DT dan memberikan masukan-masukan khususnya
bagaimana kontribusi S&DT terhadap pembangunan negara berkembang.
Saat ini
Ketua CTD adalah Duta Besar RI untuk WTO, sehingga seyogyanya hal ini dapat
dimanfaatkan sebaik-baiknya. Sementara berbagai reformasi perdagangan masih
dirundingkan, Indonesia masih dapat menggunakan S&DT yang kini tertuang
dalam Agreement on Agriculture seefektif mungkin untuk mendorong pembangunan.
PENUTUP
Bagi negara
berkembang, hasil yang memuaskan dalam isu-isu Special and Differential
Treatment merupakan inti dari penilaian suksesnya negosiasi Doha dan WTO
sebagai institusi yang mendukung pembangunan. Meskipun bentuk-bentuk S&DT
telah lama diterapkan bahkan sejak GATT (General
Agreement on Tariff and Trade), namun dalam praktiknya ketentuan-ketentuan
mengenai S&DT belum dapat memfasilitasi negara berkembang secara efektif
dalam menghindari efek negatif perkembangan perdagangan yang pesat dan
mendukung pembangunan. Sehingga perundingan WTO Putaran Doha yang telah
berlangsung sejak tahun 2001 diharapkan dapat menghasilkan
instrumen-instrumen S&DT yang lebih efektif bagi negara berkembang.
Walaupun
mendapatkan banyak tantangan, perjuangan tersebut terus dilakukan negara
berkembang khususnya di bidang pertanian yang merupakan sektor utama negara
berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada sektor
pertanian yang selama ini selalu berperan aktif dalam memperjuangkan S&DT
guna mendorong pembangunan pertanian Indonesia. Terkait dengan pembahasan
diatas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah:
a.
Indonesia perlu memperjuangkan
instrumen-instrumen S&DT yang dapat secara efektif diterapkan negara
berkembang. Hal ini perlu dilakukan dengan memperhatikan elemen-elemen
modalitas perundingan yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan Indonesia;
b.
Kegiatan monitoring dan review atas
pelaksanaan S&DT perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya sehingga dapat terlihat
bagaimana efektivitas pelaksanaan S&DT;
c.
Dalam mengantisipasi perkembangan
perdagangan global yang lebih pesat di masa yang akan datang, seyogyanya
Indonesia juga harus dapat membangun dan mempersiapkan diri menghadapi
tingginya persaingan global serta mengantisipasi jika S&DT tersebut suatu
saat akan menurun atau hilang;
d.
Dalam implementasinya,
instrumen-instrumen S&DT ini sebaiknya dapat terus diperhitungkan dalam
setiap kebijakan pemerintah sehingga dapat tercipta program dan rencana
pemerintah yang bersinergi;
e.
Indonesia harus memperhatikan
bagaimana S&DT ini dapat mempengaruhi perdagangan Indonesia dengan negara
berkembang lainnya.
Referensi:
“Agreement on
Agriculture”, The Result of the
Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, 1995;
FAO, “Special
and differential treatment in agriculture”, Trade Policy Brief No. 10, 2006;
Matthews, A.,“Special
and Differential Treatment in the WTO Agricultural Negotiations”, 2005;
Revised
Draft Modalities for Agriculture, Dokumen TN/AG/W/4/Rev.4, 6
Desember 2008
[1] De Minimis adalah jumlah maksimum pemberian subsidi yang
dikategorikan sebagai AMS. Jumlah ini dikecualikan dari komitmen pemotongan.
[2] AMS adalah
jumlah subsidi pertanian baik products
specific maupun non product specific
yang wajib terkena pemotongan.
[3] Special Session adalah forum pelaksanaan negosiasi
dari suatu komite tertentu, yang memiliki kegiatan di luar kegiatan reguler
komite.
[4] OTDS adalah
subsidi yang mendistorsi pasar dan menjadi subjek komitmen pemotongan subsidi
di bawah perundingan Doha. OTDS merupakan penjumlahan dari Total AMS, 10% Value of Production, dan subsidi blue box.
No comments:
Post a Comment