Tuesday, June 9, 2015

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Menurut pasal 38 ayat 1 dalam statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa mahkamah internasional dalam mengadili perkara internasional berpedoman pada empat sumber hukum. Sumber-sumber hukum tersebut adalah: perjanjian internasional; kebiasaan internasional; prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab; keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Parthiana, 2003:200).

Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang dibuat diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dengan tujuan mengakibatkan hukum tertentu. Menurut Mochtar Kusumaatmadja (2010), kebiasaan internasional adalah kebiasaan yang bersifat umum dan diterapkan berulang-ulang dari masa ke masa serta diterima sebagai sebuah hukum.

Sedangkan prinsip umum hukum internasional adalah prinsip umum tentang sistem hukum dari suatu negara ke negara lain yang memiliki kesamaan. Mengenai keputusan pengadilan dan pendapat para ahli, ini merupakan sumber subsidier (tambahan) yang bertujuan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai permasalahan yang didasarkan atas sumber primer (perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan prinsip umum hukum internasional) (Supriyadi, 2013:65).

Sebelum masuk pada penjabaran mengenai hukum humaniter internasional, maka penulis akan menjabarkan definisi-definisi tentang hukum internasional terlebih dahulu. Menurut Hugo Grotius, “Hukum internasional adalah hukum yang membahas kebiasaan-kebiasaan (custom) yang diikuti negara pada zamannya”. Sedangkan Muchtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes (2010:4) mendefinisikan hukum internasional sebagai “Keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (1) negara dengan negara; (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara  satu sama lain” (Supriyadi, 2013:15-16).

Berbicara mengenai subjek hukum internasional, pada awalnya subjek hukum internasional secara tradisional hanya negara saja. Namun seiring berjalannya waktu, subjek hukum internasional tidak lagi hanya negara. Telah terjadi perdebatan tentang subjek hukum internasional yang kemudian berkembanglah teori-teori mengenai subjek hukum internasional selain negara.

Menurut pandangan Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh  Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Kelsen menyatakan bahwa:
“Apa yang dinamakan hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban seluruh umat manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisasi dirinya kedalam suatu negara. Negara merupakan suatu konstruksi yuridis yang tidak mungkin ada tanpa adanya manusia-manusia sebagai anggota masyarakat negara itu” (Suarda 2012).
Perdebatan tersebut kemudian menghadirkan sebuah perkembangan pada suatu pemikiran baru yang menempatkan subjek-subjek hukum internasional baru selain negara. Subjek-subjek hukum internasional telah berkembang menjadi berbagai macam subjek hukum internasional. Subjek-subjek hukum internasional tersebut kini adalah: negara; tahta suci vatikan; palang merah internasional; organisasi internasional; individu; pemberontak dan pihak dalam sengketa yang patuh terhadap hukum-hukum internasional.

Merujuk kepada konsep just war yang dikemukakan oleh Hugo Grotius, konsep tersebut telah memberikan aturan-aturan dalam sebuah perang. Aturan-aturan tersebut kemudian disebut sebagai law of nations yang pada gilirannya menjadi cikal bakal dari hukum humaniter internasional. Walaupun Grotius mengatakan bahwa perang kadang diperlukan, tetapi ia memberikan penekanan bahwa perang bukanlah penentu akhir dan ada banyak cara untuk menyelesaikan konflik. Itulah aspek moralitas yang sesungguhnya menurut pemikiran Grotius (www.academia.edu,  2012b).

Hukum humaniter internasional merupakan sebuah bidang hukum baru dalam hukum internasional. Hukum humaniter muncul pada tahun 1971 dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict. Hukum humaniter internasional tidak hanya meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang ada dan disepakati oleh negara, akan tetapi meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, definisi hukum humaniter internasional adalah: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang...”. Sedangkan menurut S. R Sianturi: “Hukum humaniter internasional merupakan hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa meskipun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak” (Wagiman 2005).

Hukum humaniter internasional menurut International Committee of the Red Cross (ICRC) adalah: “Aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata baik secara internasional maupun non internasional” (ICRC 2008).
Seorang guru besar hukum publik internasional Universitas al-Azhar di Mesir, Prof. Dr. Abdul Ghani Abdul Hamid Mahmud (2008:3) mendefinisikan hukum humaniter internasional dalam perspektif hukum Islam sebagai berikut:
“Hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah/ijtihad yang secara khusus bertujuan untuk menyeleasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan yang timbul kepermukaan secara langsung sebagai akibat dari konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non internasional, yang membatasi hak pihak-pihak yang terlibat pada konflik dalam hal pemilihan sarana dan metode berperang, serta memberikan perlindungan kepada orang-orang dan hak milik yang terkena dampak yang muncul akibat konflik”.
Konvensi Jenewa I-IV adalah sebuah aturan hukum mengenai perlindungan orang yang tidak (tidak lagi) ikut serta dalam permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, tawanan perang, korban tewas, orang sipil, dan orang yang bertugas merawat korban konflik bersenjata) serta membatasi sarana dan cara berperang. Berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1949 yang telah direvisi dan diperluas telah menetapkan aturan-aturan untuk melindungi kelompok orang seperti berikut: pertama, konvensi Jenewa I mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang menjadi korban sakit dan korban luka di medan pertempuran darat.

Kedua, konvensi Jenewa II hukum mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang menjadi korban sakit, korban luka dan korban karam di laut. Ketiga, konvensi Jenewa III mengenai tawanan perang. Keempat, konvensi Jenewa IV mengenai perlindungan orang sipil di masa perang. Keempat konvensi Jenewa tersebut adalah suatu perjanjian internasional yang telah diterima secara universal karena telah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia (www.icrcjakarta.info, Januari 2012b).

Selain konvensi Jenewa tahun 1949, terdapat juga Protokol tambahan perlindungan terhadap korban konflik. Protokol tersebut membagi perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dalam dua kategori. Protokol tambahan I tahun 1977 dari konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban konflik bersenjata internasional. Sedangkan Protokol tambahan II tahun 1977 dari konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non internasional (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum 2003).

Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 48, pihak-pihak yang bersengketa diwajibkan untuk membedakan antara sipil dengan kombatan. Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 50 menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak ikut berperang adalah penduduk sipil. Tidak hanya itu, pasal tersebut juga menyebutkan bahwa bila ada keraguan dalam membedakan antara sipil dan kombatan maka orang tersebut harus dianggap sebagai sipil.

Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 61-67, 76 dan 79 disebutkan bahwa perlindungan penduduk sipil mencakup orang-orang yang bekerja sebagai penolong, wartawan dan organisasi pertahanan sipil. Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 49 dan 51 disebutkan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan, perlindungan serangan yang membabi buta ke arah sasaran khusus militer, orang-orang sipil atau objek-objek sipil tanpa pembedaan.

Dalam konvensi Jenewa IV tahun 1949 pasal 33 disebutkan bahwa kapan pun dan dalam kondisi apapun orang-orang sipil harus diperlakukan dengan dengan perlakuan manusiawi. Selain itu juga tidak boleh melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian atau pun penyiksaan terhadap orang-orang sipil termasuk harta benda milik orang-orang sipil (Mahmud, 2008:53-54).
Dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa: “Setiap manusia mempunyai hak melekat atas kehidupan. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tak seorangpun boleh boleh semena-mena dicabut kehidupannya” (www.icrcjakarta.info, Januari 2012a).

Dari beberapa uraian pasal-pasal yang terdapat konvensi Jenewa I-IV tahun 1949 dan protokol tambahan I di atas merupakan bahasan mengenai situasi dalam perang. Pasal-pasal menjelaskan bahwa dalam situasi atau keadaan perang harus mengedepankan tindak-tindak yang manusiawi. Tindak-tindak manusiawi yang dimaksud adalah mengenai perlindungan orang yang tidak (tidak lagi) ikut serta dalam permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, tawanan perang, korban tewas, orang sipil, dan orang yang bertugas merawat korban konflik bersenjata) serta membatasi sarana dan cara berperang. Dalam konvensi tersebut pihak-pihak yang bermusuhan dituntut untuk dapat membedakan antara kombatan dan sipil.

No comments:

Post a Comment