Friday, June 19, 2015

PEDOMAN KESEKRETARIATAN HmI (Kongres ke-27)


Dalam organisasi, dibutuhkan pedoman kesekretariatan yang berfungsi sebagai acuan untuk menjalani kehidupan keorganisasian. berikut merupakan pedoman dalam kesekretariatan organisasi yang berisi antara lain: sistematika penulisan surat, jenis-jenis surat, pengarsipan surat, tanda terima surat, dll.

Pedoman Kesekretariatan HmI Lihat detail

Semoga dapat memberikan manfaat bagi kalian.

Yakusa !!!

Wednesday, June 10, 2015

PRESENT TENSE

Simple Present Tense
Positive tense
Rumus: I/ You/ We / They + V-1 + O/Adj
He/ She/ It + V-1 + (s/ es/ ies) + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + V1 + (s/ es/ ies) + O/Adj
Contoh:
I play a guitar in my room
She studies English with gyta
Negative tense
Rumus: I/ You/ We/ They + Do + Not + V-1 + O/Adj
He/ She/ It + Does + Not + V-1 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + Do/Does + Not + V-1 + O/Adj
Contoh:
We don’t (do not) make trouble in your office
Ocha doesn’t (does not) read your message
Positive interrogative
Rumus: Do + I/ You/ We/ They + V-1 + O/Adj
Does + He/ She/It + V-1 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Do/Does + S + V-1 + O/Adj
Contoh:
Do they eat danny’s food ?
Does he kick this ball ?
Negative interrogative
Rumus: Do [+ Not] + I/ You/ We/ They [+ Not] + V-1 + O/Adj
Does [+ Not] + He/ She/ It [+ Not] + V-1 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Do/Does [+ Not] + S [+ Not] + V-1 + O/ Adj
Contoh:
Do you not understand what I mean ?
Doesn’t (does not) she ask to me ?

Present Continuous Tense
Positive tense
Rumus: I + Am + V-ing + O/Adj
You/ We/ They + Are + V-ing + O/Adj
He/ She/ It + Is + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + To be (Am/ Are/ Is) + V-ing + O/Adj
Contoh:
I am waiting for something
You are looking me like a watchdog
He is learning main trouble and give us win solution
Negative tense
Rumus: I + Am + Not +V-ing + O/Adj
You/ We/ They + Are + Not + V-ing + O/Adj
He/ She/ It + Is + Not + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + To Be + Not + V-ing + O/Adj
Contoh:
They are not helping lucas when he psychotest
She is not working her home work
Positive interrogative
Rumus: Am + I + V-ing O/Adj
Are + You/ We/ They + V-ing + O/Adj
Is + He/ She/ It + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: To Be (Am/ Are/ Is) + S + V-ing + O/Adj
Contoh:
Am I writing this article for submit scholarship registration ?
Are we must walking through day ?
Is monica dancing on the floor ?
Negative interrogative
Rumus: Am [+ Not] + I [+ Not] + V-ing O/Adj
Are[+ Not] + You/ We/ They [+ Not] + V-ing + O/Adj
Is [+ Not] + He/ She/ It [+ Not] + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: To Be (Am/ Are/ Is) [+ Not] + S [+ Not] + V-ing + O/Adj
Contoh:
Am I not buying what you want ?
Aren’t (are not) you feeling good this day ?

Present Perfect Tense
Positive tense
Rumus: I/ You/ We/ They + Have + V-3 + O/Adj
He/ She/ It + Has + V-3 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + Have/Has + V-3 + O/Adj
Contoh:
I have spent all of money that I have to make you happy
Mr. President has deposed several ministers in his cabinet
Negative tense
Rumus: I/ You/ We/ They + Have + Not + V-3 + O/Adj
He/ She/ It + Has + Not + V-3 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + Have/Has + Not + V-3 + O/Adj
Contoh:
You haven’t (have not) bought what I had been ordering to you
He hasn’t (has not) cut my hair
Positive interrogative
Rumus: Have + I/ You/ We/ They + V-3 + O/Adj
Has + He/ She/ It + V-3 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Have/Has S + V-3 + O/Adj
Contoh:
Have they spoken to judge all of the rightness ?
Has she understood what is  teacher says ?
Negative interrogative
Rumus: Have [+ Not] + I/ You/ We/ They [+Not] + V-3 + O/Adj
Has [+ Not] + He/ She/ It + [+ Not] V-3 + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Have/Has [+ Not] S [+ Not] + V-3 + O/Adj
Contoh:
Have we not eaten with you ?
Has not Rika loved you ?

Present Perfect Continuous Tense
Positive tense
Rumus: I/ You/ We/ They + Have Been + V-ing + O/Adj
He/ She/ It + Has Been + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + Have/Has Been + V-ing + O/Adj
Contoh:
I have been swimming at The Ritz Carlton Hotel Jakarta
He has been fishing despite the rain
Negative tense
Rumus: I/ You/ We/ They + Have Been + Not + V-ing + O/Adj
He/ She/ It + Has Been + Not + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: S + Have/Has Been + Not + V-ing + O/Adj
Contoh:
You have been not cleaning this room
She has been not telling our secret to them
Positive interrogative
Rumus: Have + I/ You/ We/ They + Been + V-ing + O/Adj
Has + He/ She/ It + Been + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Have/Has + S + Been + V-ing + O/Adj
Contoh:
Have we been kicking somebody on prison ?
Has it been shining so dazzling ?
Negative interrogative
Rumus: Have [+Not] + I/ You/ We/ They [+Not] + Been + V-ing + O/Adj
Has [+Not] + He/ She/ It [+Not] + Been + V-ing + O/Adj
Jadi rumus umumnya adalah: Have/Has [+Not] + S + [+Not] Been + V-ing + O/Adj
Contoh:
Have they not been learning of main problems ?
Has not he been scheduling the agenda of his boss ?


Continue ..

Tuesday, June 9, 2015

KONSEPSI KORPORASI MILITER SWASTA

Menurut Jager dan Kummel (2007:60) seperti yang dikutip oleh Andhini (2012:55), mereka menyatakan bahwa:
“Korporasi militer swasta dapat didefinisikan sebagai bentuk perusahaan legal atau resmi yang menawarkan diri dengan pelayanan-pelayanan seperti melibatkan diri dalam melatih kekuatan baik dengan cara yang sistematis maupun dengan cara militer dan/atau mentransfer atau meningkatkan potensi klien (dukungan logistik, penilaian risiko dan pengumpulan intelijen).

Menurut Marina Caparini dan Fred Schreier (2005:2) seperti yang dikutip oleh Nadia Nieri dan Angela Mackay (2008:1), mereka mengutarakan bahwa:
“Korporasi militer swasta didefinisikan sebagai perusahaan swasta yang mengkhususkan diri pada keterampilan militer yang mencakup operasi tempur, perencanaan strategis, pengumpulan intelijen, dukungan operasional, logistik, pelatihan, pengadaan dan pemeliharaan senjata dan perlengkapan”.

Dalam catatan Nieri dan Mackay lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa korporasi militer swasta orientasi kerjanya berada pada wilayah atau lingkungan konflik dan pasca konflik. Lebih lanjut mereka menerangkan bahwa korporasi militer swasta cenderung merekrut pekerja-pekerjanya dari negara-negara berkembang dari kelompok-kelompok terpinggirkan. Para pekerja yang direkrut oleh korporasi militer swasta cenderung berasal dari pedesaan yang miskin dan tidak berpendidikan. Tidak jarang dari mereka merupakan mantan tentara yang telah didemobilisasi dan direintegrasikan secara tidak layak ke dalam lingkungan masyarakatnya (Nieri dan Mackay, 2008:3-4).

Dari tinjauan lebih lanjut, menurut Marina Caparini dan Fred Schreier (2005:2), mereka mendefinisikan korporasi militer swasta sebagai berikut:
“Korporasi militer swasta adalah perusahaan sipil yang terdaftar yang mengkhususkan pada kontrak pelatihan militer (program instruksi dan simulasi), operasi dukungan pada militer (dukungan logistik), kemampuan operasional (penasihat angkatan khusus, komando dan kontrol, komunikasi dan fungsi intelijen), dan perlengkapan militer, untuk melegitimasi entitas domestik dan luar negeri. Dalam definisi yang lebih umum lagi dari korporasi militer swasta adalah perusahaan yang beroperasi untuk mencapai keuntungan dengan menyediakan jasa pelayanan yang sebelumnya dilaksanakan oleh angkatan militer nasional, termasuk pelatihan militer, intelijen, logistik dan pertempuran ofensif, juga keamanan di wilayah konflik”.

Kemunculan sosok korporasi militer swasta membuat banyak peneliti berfikir tentang definisi yang mungkin dapat dipahami secara bahasa maupun istilah. Pada paragraf-paragraf sebelumnya telah disinggung mengenai definisi tersebut. Namun berikut masih ada definisi-definisi lain yang mencoba untuk memahami apa sebenarnya sosok yang dimaksud dengan korporasi militer swasta.

Christopher Kinsey (2006:14) mendefinisikan korporasi militer swasta sebagai: “Korporasi yang memberikan keahlian militer, termasuk pelatihan dan peralatan yang hampir secara ekslusif yang digunakan oleh pemerintah yang lemah dalam menghadapi ancaman kekerasan untuk kekuasaannya”. Sementara menurut David Shearer, “Korporasi militer swasta adalah organisasi industri keamanan yang dirancang untuk memiliki dampak strategis dalam bidang keamanan dan lingkungan politik negara-negara yang lemah dalam menghadapi ancaman militer yang signifikan” (Andhini, 2012:59-60).

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Menurut pasal 38 ayat 1 dalam statuta Mahkamah Internasional menetapkan bahwa mahkamah internasional dalam mengadili perkara internasional berpedoman pada empat sumber hukum. Sumber-sumber hukum tersebut adalah: perjanjian internasional; kebiasaan internasional; prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab; keputusan pengadilan dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya (Parthiana, 2003:200).

Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang dibuat diantara anggota masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional dengan tujuan mengakibatkan hukum tertentu. Menurut Mochtar Kusumaatmadja (2010), kebiasaan internasional adalah kebiasaan yang bersifat umum dan diterapkan berulang-ulang dari masa ke masa serta diterima sebagai sebuah hukum.

Sedangkan prinsip umum hukum internasional adalah prinsip umum tentang sistem hukum dari suatu negara ke negara lain yang memiliki kesamaan. Mengenai keputusan pengadilan dan pendapat para ahli, ini merupakan sumber subsidier (tambahan) yang bertujuan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional mengenai permasalahan yang didasarkan atas sumber primer (perjanjian internasional, kebiasaan internasional dan prinsip umum hukum internasional) (Supriyadi, 2013:65).

Sebelum masuk pada penjabaran mengenai hukum humaniter internasional, maka penulis akan menjabarkan definisi-definisi tentang hukum internasional terlebih dahulu. Menurut Hugo Grotius, “Hukum internasional adalah hukum yang membahas kebiasaan-kebiasaan (custom) yang diikuti negara pada zamannya”. Sedangkan Muchtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes (2010:4) mendefinisikan hukum internasional sebagai “Keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara: (1) negara dengan negara; (2) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara  satu sama lain” (Supriyadi, 2013:15-16).

Berbicara mengenai subjek hukum internasional, pada awalnya subjek hukum internasional secara tradisional hanya negara saja. Namun seiring berjalannya waktu, subjek hukum internasional tidak lagi hanya negara. Telah terjadi perdebatan tentang subjek hukum internasional yang kemudian berkembanglah teori-teori mengenai subjek hukum internasional selain negara.

Menurut pandangan Hans Kelsen seperti yang dikutip oleh  Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Kelsen menyatakan bahwa:
“Apa yang dinamakan hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban seluruh umat manusia yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisasi dirinya kedalam suatu negara. Negara merupakan suatu konstruksi yuridis yang tidak mungkin ada tanpa adanya manusia-manusia sebagai anggota masyarakat negara itu” (Suarda 2012).
Perdebatan tersebut kemudian menghadirkan sebuah perkembangan pada suatu pemikiran baru yang menempatkan subjek-subjek hukum internasional baru selain negara. Subjek-subjek hukum internasional telah berkembang menjadi berbagai macam subjek hukum internasional. Subjek-subjek hukum internasional tersebut kini adalah: negara; tahta suci vatikan; palang merah internasional; organisasi internasional; individu; pemberontak dan pihak dalam sengketa yang patuh terhadap hukum-hukum internasional.

Merujuk kepada konsep just war yang dikemukakan oleh Hugo Grotius, konsep tersebut telah memberikan aturan-aturan dalam sebuah perang. Aturan-aturan tersebut kemudian disebut sebagai law of nations yang pada gilirannya menjadi cikal bakal dari hukum humaniter internasional. Walaupun Grotius mengatakan bahwa perang kadang diperlukan, tetapi ia memberikan penekanan bahwa perang bukanlah penentu akhir dan ada banyak cara untuk menyelesaikan konflik. Itulah aspek moralitas yang sesungguhnya menurut pemikiran Grotius (www.academia.edu,  2012b).

Hukum humaniter internasional merupakan sebuah bidang hukum baru dalam hukum internasional. Hukum humaniter muncul pada tahun 1971 dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict. Hukum humaniter internasional tidak hanya meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang ada dan disepakati oleh negara, akan tetapi meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, definisi hukum humaniter internasional adalah: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang...”. Sedangkan menurut S. R Sianturi: “Hukum humaniter internasional merupakan hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa meskipun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak” (Wagiman 2005).

Hukum humaniter internasional menurut International Committee of the Red Cross (ICRC) adalah: “Aturan-aturan pada perjanjian dan kebiasaan internasional yang secara khusus bertujuan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan yang muncul sebagai akibat langsung dari konflik bersenjata baik secara internasional maupun non internasional” (ICRC 2008).
Seorang guru besar hukum publik internasional Universitas al-Azhar di Mesir, Prof. Dr. Abdul Ghani Abdul Hamid Mahmud (2008:3) mendefinisikan hukum humaniter internasional dalam perspektif hukum Islam sebagai berikut:
“Hukum humaniter internasional merupakan sekumpulan hukum yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah/ijtihad yang secara khusus bertujuan untuk menyeleasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan kemanusiaan yang timbul kepermukaan secara langsung sebagai akibat dari konflik bersenjata, baik yang bersifat internasional maupun non internasional, yang membatasi hak pihak-pihak yang terlibat pada konflik dalam hal pemilihan sarana dan metode berperang, serta memberikan perlindungan kepada orang-orang dan hak milik yang terkena dampak yang muncul akibat konflik”.
Konvensi Jenewa I-IV adalah sebuah aturan hukum mengenai perlindungan orang yang tidak (tidak lagi) ikut serta dalam permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, tawanan perang, korban tewas, orang sipil, dan orang yang bertugas merawat korban konflik bersenjata) serta membatasi sarana dan cara berperang. Berdasarkan Konvensi Jenewa tahun 1949 yang telah direvisi dan diperluas telah menetapkan aturan-aturan untuk melindungi kelompok orang seperti berikut: pertama, konvensi Jenewa I mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang menjadi korban sakit dan korban luka di medan pertempuran darat.

Kedua, konvensi Jenewa II hukum mengenai perbaikan keadaan anggota angkatan bersenjata yang menjadi korban sakit, korban luka dan korban karam di laut. Ketiga, konvensi Jenewa III mengenai tawanan perang. Keempat, konvensi Jenewa IV mengenai perlindungan orang sipil di masa perang. Keempat konvensi Jenewa tersebut adalah suatu perjanjian internasional yang telah diterima secara universal karena telah diratifikasi oleh seluruh negara di dunia (www.icrcjakarta.info, Januari 2012b).

Selain konvensi Jenewa tahun 1949, terdapat juga Protokol tambahan perlindungan terhadap korban konflik. Protokol tersebut membagi perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dalam dua kategori. Protokol tambahan I tahun 1977 dari konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban konflik bersenjata internasional. Sedangkan Protokol tambahan II tahun 1977 dari konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan korban konflik bersenjata non internasional (Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum 2003).

Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 48, pihak-pihak yang bersengketa diwajibkan untuk membedakan antara sipil dengan kombatan. Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 50 menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak ikut berperang adalah penduduk sipil. Tidak hanya itu, pasal tersebut juga menyebutkan bahwa bila ada keraguan dalam membedakan antara sipil dan kombatan maka orang tersebut harus dianggap sebagai sipil.

Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 61-67, 76 dan 79 disebutkan bahwa perlindungan penduduk sipil mencakup orang-orang yang bekerja sebagai penolong, wartawan dan organisasi pertahanan sipil. Dalam protokol tambahan I tahun 1977 pasal 49 dan 51 disebutkan bahwa penduduk sipil dan orang-orang sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan, perlindungan serangan yang membabi buta ke arah sasaran khusus militer, orang-orang sipil atau objek-objek sipil tanpa pembedaan.

Dalam konvensi Jenewa IV tahun 1949 pasal 33 disebutkan bahwa kapan pun dan dalam kondisi apapun orang-orang sipil harus diperlakukan dengan dengan perlakuan manusiawi. Selain itu juga tidak boleh melakukan aksi-aksi perampokan, pencurian atau pun penyiksaan terhadap orang-orang sipil termasuk harta benda milik orang-orang sipil (Mahmud, 2008:53-54).
Dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa: “Setiap manusia mempunyai hak melekat atas kehidupan. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tak seorangpun boleh boleh semena-mena dicabut kehidupannya” (www.icrcjakarta.info, Januari 2012a).

Dari beberapa uraian pasal-pasal yang terdapat konvensi Jenewa I-IV tahun 1949 dan protokol tambahan I di atas merupakan bahasan mengenai situasi dalam perang. Pasal-pasal menjelaskan bahwa dalam situasi atau keadaan perang harus mengedepankan tindak-tindak yang manusiawi. Tindak-tindak manusiawi yang dimaksud adalah mengenai perlindungan orang yang tidak (tidak lagi) ikut serta dalam permusuhan (korban luka, korban sakit, korban karam, tawanan perang, korban tewas, orang sipil, dan orang yang bertugas merawat korban konflik bersenjata) serta membatasi sarana dan cara berperang. Dalam konvensi tersebut pihak-pihak yang bermusuhan dituntut untuk dapat membedakan antara kombatan dan sipil.

JUST WAR CONCEPT

Hugo Grotius berpendapat bahwa:
“Sesungguhnya setiap manusia memiliki sifat yang baik. Oleh karena itu, segala sesuatu yang sesuai dengan sifat dasar manusia maka itu adalah sesuatu yang benar secara moral. Begitupun sebaliknya, segala sesuatu yang bertentangan dengan sifat asli manusia maka itu adalah sesuatu yang salah secara moral” (www.academia.edu, 2012b).

Hugo Grotius juga menyatakan bahwa dirinya tidak menolak akan adanya kemungkinan untuk melakukan perang. Karena menurutnya, perang merupakan suatu yang tidak dapat dihindari dan terkadang justru diperlukan untuk menegakkan moral atau kebenaran yang dipercaya oleh negara. Atas dasar hal tersebut, maka Grotius menawarkan sebuah konsep yang bernama just war atau perang yang sah/adil (www.academia.edu, 2012b).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, penulis menggunakan konsep just war untuk membantu penulis dalam menemukan jawaban atas rumusan masalah yang terdapat pada bab sebelumnya. Konsep just war dirasa sangat tepat digunakan bila dihadapkan dengan permasalahan kekerasan terhadap sipil dalam sebuah kondisi pertempuran atau peperangan yang menjadi dalam fokus penelitian ini.

Just war adalah konsep normatif yang cenderung mengarah pada upaya untuk mencegah agar jangan sampai terjadi sebuah peperangan, Walaupun sesungguhnya konsep ini menjelaskan tentang bagaimana negara harus bertindak dalam melancarkan aksi perang. Just war pada prinsipnya merupakan justifikasi dilakukannya sebuah peperangan terhadap negara lain dengan aturan-aturan yang baku, yang setidaknya berupaya untuk mengurangi kerugian-kerugian akibat perang (Effendi, 2010:19-25).

Just war terdiri dari tiga buah kriteria. Pertama adalah jus ad bellum atau keadilan alasan atau pernyataan untuk melancarkan perang. Kedua adalah jus in bello atau keadilan dalam berperang (membatasi kerusakan dan kehancuran akibat perang). Yang perlu diingat adalah, jus in bello bukanlah kriteria untuk mencegah terjadinya perang (Effendi, 2010:19-25). Ketiga adalah jus post bellum atau keadilan seusai perang dilakukan (www.academia.edu, 2012a).

Berikut adalah aturan-aturan dalam kriteria jus ad bellum, yakni: pertama, just cause. Adalah aturan yang mengatur tentang penyerangan yakni, suatu negara melakukan atau melancarkan perang harus karena mendapat serangan atau invasi terlebih dulu dari pihak lain. Motivasi dari kekuatan bersenjata yang dikerahkan sesungguhnya hanya untuk mempertahankan diri dari serangan pihak lawan.

Kedua, legitimate authority. Maksudnya adalah pengambilan keputusan untuk melakukan peperangan mutlak dihasilkan dari sebuah kekuasaan yang sah dalam negara. Ini berarti perang yang dilakukan atau dilancarkan adalah atas nama kepentingan negara, bukan atas dasar kepentingan individu atau pun kelompok-kelompok tertentu semata. Ketiga, proportionality. Penggunaan kekuatan bersenjata adalah jalan pilihan ketika memang ada sebuah tindakan provokasi yang berarti dari pihak lain.

Keempat, probability of succsess. Dalam poin ini menitikberatkan, bahwasannya harus terdapat keyakinan yang menjamin sebuah kesuksesan dengan jalan perang yang diambil. Jangan sampai terjadi hal yang sia-sia ketika negara sudah mengorbankan harta, jiwa, raga dan hal-hal lainnya dengan masif (Effendi, 2010:19-25). Kelima, niat dalam melancarkan peperangan harus berada dalam ranah just cause, artinya alasan semisal untuk mendapat keuntungan-keuntungan material tidak dapat dibenarkan (www.academia.edu,  2012a).

Sedangkan dalam kriteria jus in bello Ni Suryani dkk (2012a) menjelaskan, bahwa jus in bello adalah aturan-aturan yang mengatur mengenai bentuk-bentuk perlakuan terhadap pihak lawan. Pertama, senjata-senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum internasional mutlak tidak boleh digunakan dalam sebuah peperangan. Kedua, tawanan perang (prisoner) harus diperlakukan dengan baik (manusiawi), karena setelah tertangkap prisoner bukan lagi menjadi sebuah ancaman bagi keamanan.

Ketiga, tidak ada senjata jahat atau alat jahat yang berada dalam dirinya sendiri yang diperbolehkan untuk digunakan, sebagai contoh adalah weapon mass Destruction (WMD) atau pun melakukan pemerkosaan masal. Keempat, pasukan bersenjata tidak dibenarkan untuk melanggar aturan-aturan tersebut, tetapi dimaksudkan sebagai respon terhadap pihak lawan yang melanggar (www.academia.edu,  2012a). Kelima, membedakan antara dua golongan yakni, combatant atau pejuang atau pasukan bersenjata dengan non-combatant (sipil). 

Kriteria jus in bello menegaskan bahwa golongan sipil bukanlah objek dari sebuah peperangan yang terjadi. Untuk itu, dalam melakukan serangan maka harus membedakan dua target serangan. Pertama, counterforce target. Penyerangan berfokus pada pusat-pusat militer yang antara lain adalah formasi tentara, tank, pesawat tempur, kapal perang dan instalasi-instalasi militer lain yang dapat melemahkan kekuatan militer lawan.

Kedua, countervalue target. Disini penyerangan berfokus pada sarana dan prasarana yang berdekatan dengan sebuah kota yang dapat mendukung kapabilitas perang secara umum seperti pabrik, rel kereta, bandara sipil dan pembangkit listrik. pada countervalue target meskipun bukan masyarakat atau sipil yang menjadi target, namun sangat berpeluang besar untuk menciderai atau melukai sipil bahkan bukan suatu hal yang tidak mungkin peluang jatuhnya korban jiwa dari pihak sipil pun tak terelakkan (Effendi, 2010:19-25).

Seperti halnya Jus ad bellum dan jus in bello, jus post bellum juga memiliki aturan-aturan tersendiri. Pertama, hak-hak prisoner yang pelanggarannya dapat dibenarkan oleh bukti dan fakta yg otentik harus dikembalikan. Kedua, ketika peperangan dideklarasikan oleh sebuah otoritas kekuasaan yang sah, maka ketika perang berakhir otoritas kekuasaan yang sah pun harus mendeklarasikan kembali perang yang telah usai. Ketiga, dalam hal penyusunan penyelesaian dengan ketetapan dalam persyaratan, harus dilakukan dengan proporsional. Keempat, peradilan internasional terhadap kejahatan perang harus diadakan dengan terbuka dan diskriminasi perlakuan antara combatant dan non-combatant tetap diberlakukan saat vonis hukuman dijatuhkan terhadap yang terbukti bersalah (www.academia.edu,  2012a).

16 BENTUK KALIMAT DASAR DALAM BAHASA INGGRIS

Dalam bahasa inggris, pola kalimat terbagi dalam 4 kategori waktu:
1. Present tense
2. Past tense
3. Future tense
4. Past future tense

Keempat kategori itu pun terbagi dalam 4 bentuk kalimat:
Present tense
1. Simple present tense
2. Present continuous tense
3. Present perfect tense
4. Present perfect continuous tense
Past Tense
1. Simple past tense
2. Past continuous tense
3. Past perfect tense
4. Past perfect continuous tense
Future tense
1. Simple future tense
2. Future continuous tense
3. Future perfect tense
4. Future perfect continuous tense
Past future tense
1. Simple past future tense
2. Past future continuous tense
3. Past future perfect tense
4. Past future perfect continuous tense

Untuk dapat memahami percakapan bahasa  inggris, kita harus faham tiap-tiap bentuk dari 16 bentuk kalimat tersebut. Cara untuk dapat memahaminya tentu kita harus hafal dan faham rumus dari tiap-tiap bentuk tersebut. Tidak hanya itu, ke-16 bentuk kalimat tersebut pun masih terbagi lagi menjadi 4 bentuk kalimat, yakni:
1. Positive tense
2. Negative tense
3. Positive interrogative
4. Negative interrogative

Continue ..